BIOGRAFI ROSIHAN ANWAR (seorang tokoh jurnalistik indonesia)
Bidang jurnalistik yang digelutinya benar-benar dimulai dari bawah. Meskipun korannya dibredel oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, ia tak pernah berhenti menulis. Rosihan Anwar boleh dibilang legenda hidup pers Indonesia. Karena itu tak heran jika ia mendapat penghargaan Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan.
Penghargaan itu diterima Rosihan di hari ulang tahun ke-40 Kompas. Menurut Aida, anaknya, desas-desus mengenai penghargaan itu sebenarnya sudah lama didengar ayahnya. Tapi, kata Aida, “Bapak sih biasa saja.”
Memang seperti itulah adanya Rosihan. Bagaimana pun, ia dinilai konsisten dalam berkarya sebagai wartawan. Karier di bidang jurnalistik ditekuninya dari bawah sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Tulisan terbaru pria kelahiran Kubang Nan Dua (Sumatera Barat), 10 Mei 1922, itu yang dimuat harian Kompas pada 9 April 2005 adalah laporan kunjungannya dari Afrika Selatan. Tulisan in memoriam terbarunya adalah Mengenang 100 Tahun Adinegoro yang dimuat 14 Agustus 2004. Kalau buku, sudah sekitar 30 jumlahnya. Yang baru, misalnya Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia, terbitan Penerbit Buku Kompas, Juni 2004.
Bidang jurnalistik yang digelutinya benar-benar dimulai dari bawah, sebagai reporter surat kabar Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman. Meskipun dibredel oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, Rosihan tak pernah berhenti menulis.
Pertimbangan lain dari pemberian anugerah itu adalah karena Rosihan seorang wartawan yang bersungguh-sungguh mencari fakta. Ia membingkai fakta itu dalam satu pikiran. Ia menuliskannya dengan teknik penutur kisah tradisional, seperti orang berkabar dengan segala sesuatu dilakukan secara santai, enak, dan ringan. Namun tidak serta-merta menjadi dangkal.
Selain kepuasan telah memimpin surat kabar Pedoman, Rosihan merasa pencapaian tingginya adalah ikut membesarkan Kompas. Salah satu yang memberi kepuasan kepadanya adalah ketika sekitar tahun 1966 ia diminta salah seorang pendiri Kompas, PK Ojong, menulis peta bumi politik. Waktu itu adalah zaman dualisme Soekarno-Soeharto sehingga orang ingin tahu perkembangan politik.
Cara menulisnya cukup unik, yaitu menulis nomor di setiap fakta, menjadi semacam memo reportase. Antara nomor satu dan dua kadang-kadang tak ada hubungan. Namun fakta itu dibeberkan menjadi mosaik peta bumi politik.
“Saya anggap itu pencapaian yang baik. Banyak orang bertanya kepada saya, kenapa dikasih nomor, karena saya menulis reportase. Karena tidak bertele-tele, orang bisa menguji fakta dan analisis saya,” katanya.
Sistem kartu
Pencapaian lain yang dinilai memuaskannya adalah ketika menulis serial reportase kunjungan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev tahun 1960. Ia mengikuti kunjungan Khrushchev itu di Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Maluku selama dua minggu. Ia tahu kantor berita telah menulis fakta. Maka ia menulis kisah di balik fakta dan warna-warnanya, misalnya Bung Karno yang berdansa di Istana Tampak Siring. Ia memberi judul Safari Nikita. Orang pun senang membacanya karena disajikan dengan storytelling (bercerita).
Sampai sekarang, Rosihan masih rajin membaca buku. Yang lagi diminatinya sekarang adalah buku setebal 1.200-an halaman karya wartawan Belanda Geert Mak berjudul In Europa, reizen door de twintigste eeuw (Di Eropa, Berjalan-jalan Selama Abad 20). Ia tidak bisa berhenti membacanya karena menarik. Kalimatnya pendek dan bergaya soundbite (kutipan-kutipan pendek yang penting dan menarik).
Banyak orang mengira Rosihan hebat karena bisa mengingat berbagai detail peristiwa berpuluh tahun lalu ketika menulis in memoriam. Padahal, menurut dia, detail itu bisa muncul karena dibantu pengetahuan karena membaca buku dan rajin membuat catatan berbagai hal dalam kartu. Sistem kartu itu ditiru dari Soedjatmoko yang baru pulang dari Cornel University, Amerika Serikat, berpuluh tahun lalu. Dalam kartu yang sudah tampak menguning itu, ia mencatat kutipan-kutipan penting dari berbagai buku dan majalah tentang berbagai hal menarik.
Baru-baru ini, ketika Roeslan Abdulgani meninggal dunia, ia sempat berpikir apa yang baru dari tokoh ini untuk ditulis in memoriam-nya karena sudah pernah ditulisnya saat Roeslan berusia 90 tahun pada 24 November 2004.
Dalam perkembangan zaman, segalanya telah berubah. Teknologi informasi telah demikian maju sehingga wartawan sekarang sebetulnya sudah lebih mudah bekerja. Fenomena tabloidisme sudah tidak bisa terhindarkan karena pengaruh televisi. Tulisan-tulisan harus pendek, tetapi tetap berisi.
Kalau di televisi ada soundbite, maka itu sekarang ditransfer ke koran. Untuk kedalamannya, ia mesti berusaha jangan terlalu multifokus, ujar suami Siti Zuraida Sanawi dengan tiga anak itu.
Berbeda dengan ketika memutuskan menjadi wartawan tahun 1943 yang idealisme untuk memerdekakan rakyat lebih menonjol, Rosihan dapat memaklumi jika perkembangan pers dewasa ini lebih memenuhi kebutuhan bisnis.
Mencermati tulisan-tulisan wartawan muda masa kini, Rosihan secara umum merasa tak puas. Banyak yang tidak menarik baginya. Betapa ruwetnya tulisan dan ada rasa ingin pamer dari si penulis. Harus dikuasai dulu materinya dengan membaca buku, nanti keluarnya mudah. Kalau tidak perlu betul, tak usah pakai bahasa Inggris, kata alumnus Algemeene Middlebare School Bagian A II Yogyakarta tahun 1942 itu.
Dari pergaulannya dengan orang-orang sosialis seperti Sjahrir pada zaman revolusi, ia mengenal faham sosialisme demokrat, yang intinya wartawan harus berjuang menegakkan martabat manusia (human dignity). Kalau saya retrospeksi ke belakang, pers sekarang sudah berubah menjadi bisnis. Wartawan menjadi buruh, ujarnya.
Meskipun demikian, menurut Rosihan, tak berarti pers sekarang tak punya idealisme karena kalau tak ada idealisme wartawan cuma buruh intelektual.
Rosihan berharap, wartawan sekarang mencari kepuasan bekerja, walaupun dia cuma bagian dari pabrik besar. Namun, tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik.
0 komentar:
Posting Komentar